Bertani atau Mati: Wawancara dengan Widodo PPLP Kulonprogo

Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) mungkin adalah salah satu serikat petani paling berani di Jawa dalam artian jumlah massa yang siap melakukan bentrok dengan polisi demi mempertahankan tanah mereka. Proyek penambangan pasir besi di sepanjang pesisir selatan Kulon Progo (tepatnya mulai Pantai Trisik-Pantai Glagah) yang dilakukan oleh Jogja Magasa Iron (JMI) sejak 2006 itu, mandek sampai sekarang. Kenapa PPLP terus menolak dan nyaris tidak menyisakan ruang untuk negosiasi? Berikut wawancara KONDE dengan Widodo, salah satu pentolan PPLP pada 2010 disusul wawancara lain pada 2012.
Apa memang tidak ada ruang sama sekali untuk negosiasi?

Apa yang dinegosiasikan? Tidak ada. Menolak. Itu harga mati. Maka kalau pemerintah, baik Pemda Kulonprogo maupun Pemda Provinsi Yogyakarta terus memaksa, maka kami akan terus melawan.

Resiko terburuknya apa?

Chaos! Bertempur! Kami sudah membayangkan, bagaimana harus menghadapi mereka (investor maupun Pemda), dan bayangan itu sudah tersusun dalam sebuah skema pertempuran antara rakyat dengan pemerintah yang semestinya bertugas melindungi dan menyejahterakan rakyat.

Siapa Bupati? Siapa TNI? Siapa Polisi? Kami rakyat pesisir tahu persis posisinya. Dan kami tahu persis, apa tugas yang mereka emban. Jadi kalau suatu hari kelak kami harus bertempur dengan mereka, kami sangat mengerti kapan kami menyerang dan kami juga tahu resikonya, termasuk resiko yang akan dihadapi oleh mereka.

Bayangan itu konkritnya seperti apa?

Sederhana saja! Kami akan menemui momentum dimana investor memasukkan alat berat untuk penambangan, dikawal oleh Polisi Anti Huru Hara atau TNI. Nah, saat itu, kami rakyat pesisir atau yang selama ini dikenal dengan masyarakat cubung, akan berhadapan dengan senjata laras panjang, pentungan dan panser.

Tetapi kami juga berhitung, dengan strategi penyerangan ala rakyat. Mungkin akan memainkan rojong, molotov, dan untuk jarak dekat kami tentu hanya punya parang, pedang dan bambu runcing serta keyakinan bahwa tidak semestinya rakyat diserang oleh TNI atau polisi.

Maka kalau itu terjadi, dunia akan mencatat, bahkan akan mentertawakan TNI dan Polri, dan menempatkan Pemda pada posisi yang sangat hina di mata dunia.

Kenapa harus melawan?

Karena kami tahu, persis tahu, apa yang kami perjuangkan. Tanah pesisir seluas 1.500 hektar itu, lahan yang diberikan Tuhan untuk umatnya. Dan jika pemerintah lupa akan hal itu, akan kami ingatkan dengan cara melawan.

Kami melawan karena mempertahankan hidup. Lahan pasir itu urat nadi kami. Lahan itu, dari semula tandus, dihijaukan selama puluhan tahun, dirawat turun temurun dan konkritnya telah menjadi sumber penghidupan pokok bagi ribuan rakyat pesisir.
Maka kalau terus diogrek-ogrek, dipaksa untuk menyerahkan lahan untuk investor, berarti Pemda akan memecat kami sebagai rakyat. Jika pegawai dipecat, masih bisa kembali jadi rakyat, nah kalau rakyat dipecat mau jadi apa? Itu sama saja dengan membunuh kami. Nah, satu-satunya jalan menghadapi ancaman pembunuhan adalah dengan melawan!

Bukannya itu tanah Puro Paku Alaman?

Siapa bilang! Sejak kapan lahan itu menjadi milik Puro Pakualaman? Puro, keraton atau Pemda itu siapa? Kalau dengan cara berfikir orang cubung, duluan mana antara rakyat dan pemerintah? Memang kemudian kamu harus bicara Tata Negara. Dan sesuai Tata Negara, maka UUPA menyatakan, 20 tahun menggarap lahan, maka itu menjadi hak rakyat. Kalau Puro mau menguasai, dengan cara menstatus magersari, dasarnya apa?

Pemerintah, Puro, Kraton mau melawan hukum Tata Negara, mau melawan UUPA? Ingat, Pemda Yogyakarta, juga bagian Indonesia. Harus taat dengan hukum Indonesia.

Dengan RTRW [Rencana Tata Ruang Wilayah] yang kini tengah disiapkan Pemda?

Pemda mestinya tahu dan bijaksana. Tata ruang wilayah, itu jangan diasumsikan sebagai ruang kosong, tanpa penghuni, tanpa ada ikatan dengan rakyat. Kalau puluhan tahun lahan itu sudah menjadi belahan hidup rakyat, RTRW tidak harus dipaksa menjadi tambang besi, belahan jiwa investor! Enak saja! Libatkan dong rakyat dalam penyusunan RTRW! DPRD, yang semestinya paham soal beginian, apa nyatanya? Apa wakil rakyat itu paham tugasnya, paham ruhnya, paham tentang kita? Tidak kan?

Maka mulai hari ini, ribuan rakyat pesisir, akan mengatakan, ‘bullshit agenda politik.’ Kamu pun berfikir pun tidak, lihat saja nanti!

Anda tidak ingin ada kontrak politik dengan calon Bupati 2011, barangkali?

Tidak terpikir, tidak ada keinginan sama sekali. Kami hanya ingin menanam cabai, sayur, palawija dan hidup kecukupan atau sejahtera, dengan ukuran kami. Kalau toh mau diganti rugi 100 juta per hektar, oleh investor, kami memilih menanam cabai, dan itu akan langgeng seumur hidup.

Memang seberapa besar hasil dari menanam cabai?

Kami bersyukur, setiap periode panen [7 bulan -red], rata-rata kami bisa beli 2 sepeda motor baru, bikin rumah bagus, bahkan banyak yang mampu beli mobil. Tapi kami tetap petani, tidak ingin mewah dan [yang] tidak manfaat.

Sejarah perjuangan kami untuk bisa hidup enak seperti sekarang itu panjang. Kita dulu dikenal sebagai masyarakat cubung, miskin, gudiken [panuan -red], lalu kami (nenek moyang kami) menggarap lahan pasir untuk bertani dan terus meningkat menjadi lahan emas seperti sekarang ini. Apa kami bisa makan karena program pemerintah? Tidak!

Kenapa energi perjuangan kalian nampaknya tetap terjaga?

Karena ini perlawanan rakyat, bukan PPLP, bukan siapa-siapa. Mereka merasa akan dibunuh, maka mereka melawan. Mereka merasa dipaksa, maka mereka berontak. Mereka itu takut kehilangan sandang pangan, maka mereka berjuang habis-habisan.
Tahu nggak, semua komponen rakyat pesisir itu, sadar dan tahu menempatkan dirinya pada posisinya dan tugasnya masing-masing, dalam perjuangan ini tanpa komando. Yang tua dimana, yang muda ngapain, perempuan dimana dan mereka harus berteriak apa, itu semua mereka lakukan secara sadar dan bersemangat.

Itu semua yang menjadi ruh perjuangan ini. Maka bayangkan jika investor nekad, Pemda nekad, ada oknum-oknum lain mencoba ngobok-obok pesisir, pasti akan dihabisi tanpa ampun karena lahan pesisir adalah urat nadi semua orang cubung!

***

Wawancara Zine Bertani atau Mati bersama Widodo pada Juli 2012.

Bagaimana perasaan anda tentang keadaan perjuangan petani di pesisir selatan Kulon Progo saat ini?

Secara umum, banyak hal yang kami rasakan dalam perjuangan ini. Satu, kami bisa belajar bagaimana bahwa ternyata kami sangat butuh sekali bagaimana tanah itu menghidupi kami. Terus, kalau berbicara tentang perjuangan, ya saya sangat, satu, logika belajar itu. Terus yang kedua ini, juga merasa tertekan.. tertekan karena ya sebetulnya kehidupan kami sudah enak, sudah santai. Akan tetapi di sisi lain, bahkan negara ini memberikan sebuah tekanan moral dan tekanan fisik juga terhadap kami, tentang bagaimana kami menikmati hidup. Seperti itu. Jadi, banyaklah manfaat yang bisa kita ambil dari pada perjuangan di masyarakat pesisir Kulon Progo ini.

Apakah anda merasa bahwa PPLP memiliki dukungan yang cukup dan solidaritas dari petani lain di Indonesia dan dari orang lain di dunia dalam perjuangan penolakan tambang pasir besi?

Ya itu relatif ya. Kalau dukungan sih sebetulnya kita sudah banyak petani lain yang juga mendukung perjuangan kami. Akan tetapi itu, katakanlah menurut kami itu masih kurang. Artinya bahwa, keinginan kami sebetulnya bahwa perjuangan ini, kasus di Kulon Progo ini adalah juga merupakan kasus semua petani yang ada di Indonesia, sebetulnya keinginan kami seperti itu. Cuma, di tingkatan kesadaran petani mungkin, ya di petani lain itu mungkin masih kurang. Akan tetapi apa ya, kalau katakan banyak atau tidaknya, kita tetap masih kurang dukungan. Garis besarnya seperti itu.

Terus untuk solidaritas internasional juga, sebetulnya sudah banyak. Cuma untuk memperkuat argumen kami, untuk memperkuat solidaritasnya, itu kita merasa juga masih kurang. Karena ya sebetulnya kita merasakan bahwa tekanan internasional itu sangat penting dan kami merasakan sendiri. Itu sangat, apa ya, semacam membantu tentang pergerakan kami di sini. Akan tetapi, ya kami belum puas karena keberhasilan daripada perjuangan ini belum 100% berhasil. Gini, jadi masih kuranglah untuk solidaritas semuanya, baik untuk petani lokal ataupun solidaritas internasionalnya.

Kalau pendapat anda ya, masih kurangnya dukungan dari gerakan petani lokal terhadap perjuangan petani di Kulon Progo ataupun dukungan dari kelompok-kelompok lain, itu penyebabnya karena apa?

Itu penyebabnya banyak, karena aku melihat bahwa gerakan tani di Indonesia itu, katakanlah bukan semacam gerakan murni daripada petani. Aku melihat, bahwa di situ setiap petani akan bergerak itu pasti ada sesuatu, ada kekuatan lain yang di situ justru ingin mengendalikan gerakan tani. Itu di Indonesia. Sehingga apa ya, semacam kita mau berjejaring, kita saling semacam saling bersolidaritas itu seakan-akan memang ada tiran, apa namanya, menghalangi. Entah itu apa. Tapi aku melihatnya seperti itu. Bahwa ya semua gerakan tani, aku melihat tetap ada yang mengendalikan kalau di Indonesia. Kecuali saya nilai, ya PPLP di petani Kulon Progo, ini sepertinya tidak. Adalah kita yang mengendalikan. Ya, kita sendiri yang mengendalikan.

Menurut anda, hal apa yang paling penting bagi fokus para petani dalam perjuangan menolak tambang pasir besi?

Ya yang paling fokus bagi kita ya itu tadi: menanam, merawat, dan memanen. Karena kalau kita meninggalkan itu, namanya bukan pejuang petani lagi. Itu, yang paling penting itu. Yang tiga, hal tadi itu katakanlah sebagai dasar perjuangan kita. Yang kedua, fokusnya tentang bagaimana kita itu bisa mengabarkan, bahwa di sini sedang terjadi perjuangan ataupun sedang terjadi sebuah, apa namanya, pembantaian massa. Nah, untuk mengabarkan itu kan penting juga kita untuk membikin jaringan. Artinya, semua orang harus tahu, di manapun, bahwa, misalnya di Kulon Progo ini sedang terjadi kasus. Gitu.

Dan karena sesuatu itu selalu, apa ya, kita itu melawan untuk mempertahankan hak, kita itu selalu bersinggungan dengan hukum formal, advokat itu penting. Ketika kita misalnya terjerat sebuah kasus. Walaupun, sebenarnya advokat sehebat apapun tetap kalah. Ketika kita mengakui tentang bagaimana ataupun mengikuti proses-proses hukum legal formal seperti itu.

Menurut anda, bagaimana masalah ini atau masalah tentang proyek tambang pasir besi ini akan memengaruhi generasi masa depan petani?

Ya ini pasti sangat berpengaruh sekali. Tentang bagaimana tidak hanya generasi, itu sangat berpengaruh terhadap semua hal, semua hal kehidupan di pesisir sini. Karena, itu bisa mengubah semua hal, ketika hari ini kita sudah baik-baik bertani. Semua bisa berkumpul, bisa berinteraksi dengan sesama petani. Sehingga mewujudkan sebuah kehidupan yang harmonis, tentang bagaimana sikap sosial terhadap semuanya itu sudah baik.

Akan tetapi, ketika tambang ini berjalan itu semuanya pasti akan hancur. Jadi, tidak hanya semacam perusakan terhadap generasi; cuma ini lebih perusakan terhadap aspek kehidupan, kehidupan sosial, ataupun semuanya lah. Seperti itu.

Selanjutnya tentang bagaimana mempertahankan ya, kita tetap mengatakan bahwa kasus ini adalah kasus kita bersama. Kasus secara personal, secara pribadi, dan ini kita semuanya harus bergerak bersama, gitu loh. Jadi, dari yang katakanlah yang tua sampai muda bahkan anak-anak itu hari ini dan selamanya harus belajar tentang bagaimana kita untuk mempertahankan hidup kita.

Masalah regenerasi, kita tetap akan katakanlah mendidik secara alam, gitu loh. Bahwa, pertanian itu penting untuk kehidupan karena di situ tidak merusak alam, tidak merusak lingkungan dan sebagainya. Nah, sehingga kita yakin bahwa regenerasi ini akan timbul juga dengan proses alam.

Anda bisa ceritakan sedikit kira-kira potensi ancaman pertambangan terhadap lingkungan seperti apa?

Wah, itu sebenarnya banyak sekali. Dan sebetulnya ini sudah umum untuk diketahui. Ini kan pantai ya, kalau tambang itu jalan jelas ekosistem pantai akan rusak dan kita gak tahu kapan akan terjadi bencana alam. Misalnya seperti angin ribut, gelombang besar, sampai tsunami, atau gempa bumi. Kita gak tau semuanya dan ini sebetulnya kan di situ. Katakanlah lingkungan yang akan dirusak adalah itu. Itu kalau kita berbicara tentang lingkungan, garis besarnya seperti itu.

Bahkan bahwa kita hidup di sini itu dilindungi alam. Nah ketika alam itu dirusak, siapa yang akan melindungi kehidupan di pantai dan di muka bumi ini? Itu salah satu tentang perusakan lingkungan.

Perusakan sosial lebih banyak lagi, seperti yang saya ceritakan tadi. Tentang ekonomi apalagi. Ekonomi ini semuanya pasti nanti orang-orang pribumi sini akan tergusur semuanya. Dengan datangnya pemodal, yang pasti itu uangnya besar-besar. Sehingga mereka tidak akan pernah berpikir tentang kehidupan sosial, akan tetapi mereka pasti berpikir tentang bagaimana investasi mereka itu akan cepat berkembang dan mendapat keuntungan yang sebesar-besamya. Mereka mikirnya seperti itu. Kapital itu namanya.

Ini telah menjadi perjuangan beberapa tahun, sudah jalan tujuh tahun. Apakah Anda merasa bahwa perjuangan rakyat akan berlanjut dan terus berjuang di tahun-tahun yang akan datang?

Kalau saya yakin tetap sampai kapanpun, karena saya sendiri merasakan bagaimana saya itu mencintai tanah saya. Saya berpikir bahwa tanah saya ini ya nyawa saya dan ini tampaknya semua orang berpikir seperti itu. Jadi, ketika tanah ini dikeruk, misalnya ya, itu berarti sama saja menyerahkan kehidupan ini terhadap orang lain. Misalnya, orang lain yang saya maksudkan di sini, katakanlah penambang ya, berarti kehidupan petani itu diserahkan kepada penambang. Sehingga kita yakin bahwa perjuangan ini akan tetap berjalan terus, sampai kapanpun, sampai kapanpun.

Mengapa Anda berpikir atau yakin para petani begitu siap dan bersedia untuk memperjuangkan tanah ini? Apa arti tanah bagi para petani lokal di Kulon Progo?

Ini merupakan pertanyaan yang sangat mendasar sekali. Penjelasannya sangat lebar sekali menurut saya. Karena tanah bagi kami ya garis besarnya adalah hidup kami, seperti yang saya katakan tadi, sehingga kehidupan ini tidak bisa ditukar dengan apapun, apalagi materi. Materi yang saya pikir kalau yang menjanjikan negara atau pemodal itu tidak akan bisa. Tidak akan bisa memberikan kami kesejahteraan, itu sudah jelas.

Nah, ketika kita berbicara tentang tanah, maka kita juga berbicara tentang kehidupan. Ketika kita berbicara tentang kehidupan, semuanya itu pasti berkaitan yaitu dengan kehidupan sosial, budaya, lingkungan, semuanya saling bersangkutan. Artinya, kita juga bisa ngomong bahwa kami di sini sudah sejahtera dan kesejahteraan kami itu tidak bisa diukur dengan apapun. Apalagi dengan perhitungan materi versinya negara atau orang kaya. Itu nggak bisa. Biarpun misalnya tiap hari kita cuma bermain-main terus, pergi kemanapun. Tapi kita sudah merasa sejahtera dengan kehidupan seperti ini dan kesejahteraan ini tidak bisa diukur dengan apapun.

Kalaupun mau mengukur, ya mengukurnya harus dengan hati. Sehingga kalau berbicara tentang tanah itu semuanya saling berkaitan. Nggak bisa itu, kita menyerahkannya kepada siapapun.

Anda tadi bercerita bahwa tidak percaya dengan investasi atau pemodal akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Bukankah banyak masyarakat yang percaya bahwa dengan adanya investasi itu akan mendatangkan kesejahteraan, mendatangkan kelimpahan ekonomi. Kenapa Anda tidak percaya hal itu?

Itu-itu yang bicara siapa? Yang bicara versi seperti itu siapa? Saya ingin tahu. Yang bicara itu satu, pasti orang-orang pemerintahan. Terus yang kedua, itu pasti pengusaha dan yang ketiga orang-orang yang istilahnya menjadi penjilat pantat-pantat penguasa dan pengusaha. Mereka bukanlah pejuang hidup yang mandiri. Mana sih, tambang yang bisa menyejahterakan orang kecil seperti saya ini? Nggak ada.

Apalagi kita bicara tentang negara, bisanya apa sih? Cuma bikin aturan, menangkap orang-orang yang sedang berjuang, seperti Pak Tukijo itu. Itu nggak bisa. Jadi, orang yang ngomong seperti itu, ya orang yang hanya ditipu. Nggak pernah ada bukti ketika suatu tempat ditambang terus jadi sejahtera. Freeport dikatakan selalu bisa menyejahterakan, tapi aku melihat kenyataannya tidak seperti itu. Yang sejahtera itu ya pemodal, yang punya uang, yang punya jabatan. Mereka yang sejahtera. Cuma orang-orang yang punya tanah di situ semuanya tersingkir. Dan kita tidak mau seperti itu. Kita mau merdeka di atas tanah kita sendiri.

Saya lebih percaya ketika saya mengolah tanah saya sendiri karena itu lebih konkret. Tidak perlu memakai aturan-aturan yang ini-itu, ini-itu yang terjebak hanya di teori. Intinya bahwa kehidupan kami itu sudah sejahtera dan aman. Cuma hari ini, penguasa dan pemodal mau menggusur kami. Tapi, sampai kapanpun kami akan tetap bertahan dan melawan.

Nah, itu tidak hanya sampai di situ saja. Bahkan, yang saya lihat ya, saat saya ke Lumajang, Jawa Timur, petani pesisir di sana sudah sejahtera dan aman. Mereka sudah bisa menemukan cara hidup sesuai dengan model mereka sendiri dan sesuai dengan kesejahteraan yang mereka harapkan. Tapi lagi-lagi, kehidupan mereka itu juga dirusak oleh negara dan pemodal. Itu contoh yang benar-benar saya lihat. Terus, contoh lainnya adalah di Kebumen, petani pesisir sana sudah bisa hidup mandiri dengan bertani. Tapi, di sana TNI mengeklaim secara sepihak bahwa tanah itu adalah tanah TNI. Padahal sudah jelas, bahwa tanah-tanah itu merupakan tanah masyarakat. Itu kan jadi hal yang lucu dan aneh.

Makanya kenapa, saya tidak pernah percaya dengan yang namanya negara. Karena ya itu tadi, bisanya hanya melindungi pemodal bukan melindungi rasa aman masyarakatnya. Selain itu masih banyak lagi, seperti di Porong, Sidoarjo, kasus lumpur Lapindo yang menyengsarakan masyarakat. Itu kan ulah-ulah para pemodal, kenapa kita harus tertipu. Contoh juga udah banyak dan kita nggak mau seperti itu. Ya, kita akan tetap seperti ini: bertani dan melawan.

Kita tahu bahwa Kesultanan dan Pakualaman Yogyakarta mempunyai kepentingan dalam proyek tambang pasir besi ini, karena selain beberapa orang keluarga keraton mempunyai kedudukan penting dalam perusahaan PT. JMI, mereka juga bagian dari pemilik saham. Namun di sisi lain, banyak orang yang masih percaya bahwa keraton sangat melindungi masyarakat dan menjunjung keadilan. Dan ini bertolak belakang dengan adanya bukti keterlibatan mereka dalam proyek tambang pasir besi yang akan menggusur ribuan petani pesisir Kulon Progo. Bagaimana pandangan Anda tentang hal ini?

Keraton itu apa sih? Itu kan, katakanlah, institusi yang nggak jelas menurut saya. Karena ketika mereka berbicara budaya, mereka berbicara apapun itu seharusnya melihat fakta lapangan. Sesungguhnya keraton itu ya hanya untuk simbol sekaligus untuk menutupi kebobrokan institusi saja. Sehingga, orang itu melihat bahwa kraton itu adalah simbol yang baik, akan tetapi ya seperti itu tadi, itu semuanya untuk menutupi kebusukannya saja.

Ya ini bukti nyata, bahwa orang-orang keraton itu jelas mau menggusur warga pesisir dari lahan kehidupannya yang notabene adalah warga masyarakatnya sendiri. Dan itu bukti, bahwa ternyata kekuasaan sebagai alat penindas. Tapi kalau untuk menyejahterakan, ah… saya tidak pernah percaya. Itu sama juga dengan keraton, karena saya mengalaminya sendiri.

Bisa menceritakan bentuk-bentuk atau proses-proses perjuangan petani pesisir Kulon Progo yang tergabung di PPLP yang sudah dilakukan selama tujuh tahun ini?

Itu sudah banyak sekali. Sesuatu yang sudah kita lakukan. Bahkan saya sendiri sampai lupa berapa kali petani itu melakukan protes terhadap pemerintah. Kita melakukan gerakan ini bahkan sampai turun ke jalan dengan aksi-aksi demonstrasi. Saya juga lupa sampai berapa kali kita melakukan aksi turun ke jalan menuntut lembaga-lembaga pemerintah untuk mendengarkan aksi-aksi kita, suara-suara rakyat. Tetapi ya, sampai hari ini mereka masih ngotot untuk menambang. Misalnya, kami sudah pernah melakukan aksi demo di pemerintah kabupaten Kulon Progo, sampai di DPRD kabupaten, Provinsi Yogyakarta, bahkan sampai DPR RI pernah kita datangi juga. Terus kalau masalah surat menyurat, kita juga lupa berapa kali kita menyurati mereka bahkan, sampai menyurati Presiden itu entah 2-3 kali. Ya, kita tak pernah tahu apakah untuk bungkus tempe [suratnya]. Saya juga yakin Presiden tidak akan mau membaca surat dari petani.

Dan itu bukti, bahwa hari ini tidak ada perjuangan melalui legal-legal formal yang berhasil, itu tidak ada, semuanya itu teori. Saya bisa ngomong seperti ini itu karena saya sudah membuktikan sendiri. Bagaimana kita membuat surat kepada siapapun, aksi di manapun, ngomong di depan siapapun, ternyata semuanya omong kosong. Mereka hanya menjanjikan saja, realitasnya tidak ada. Bahkan kalau di DPR RI itu ya, saya pernah ke sana, mungkin sampai lima kali. Mereka hanya menjanjikan saja. Bahkan mereka datang ke sini bukan untuk melihat nasib rakyatnya, mereka ke sini yang dari DPR RI Komisi Tujuh itu malah melihat bagaimana baiknya pertambangan, bukan bagaimana untuk membela kepentingan masyarakatnya.

Sehingga kami sudah tidak percaya dengan sistem-sistem formal perjuangan petani, karena tidak berhasil, semua pernah kita coba. Apalagi tentang teori-teori LSM yang saya pikir tidak jelas, karena kalau saya melihat mereka itu bukan menolak, tapi justru mereka menawarkan untuk win-win solution (solusi yang sama-sama menguntungkan). Maksudnya, sama-sama menguntungkan bagi negara dan para pemodal, bukan menguntungkan bagi masyarakatnya.

Sehingga kami tidak pernah percaya terhadap mereka. Dan bukti bahwa semuanya itu gagal, ya banyak perjuangan petani di Indonesia yang gagal dengan menempuh cara-cara seperti itu. Kalaupun berhasil semuanya itu semu, karena petani tidak bisa benar-benar mandiri untuk mengelola kehidupan mereka sendiri.

Pertanyaan terakhir, kira-kira hal apa yang terbaik yang perlu dilakukan, baik untuk petani yang ada di pesisir Kulon Progo maupun gerakan petani atau gerakan masyarakat pada umumnya, yang sampai saat ini masih berjuang untuk melawan penindasan?

Itu sebetulnya cuma simpel dalam hal perkataan: jangan pernah nasib kita, kita serahkan pada orang lain. Nasib kita yang menentukan adalah kita sendiri, bukan siapa-siapa, bukan DPR, bukan birokrat, bukan politisi, apalagi LSM. Jangan sampai itu diberikan kepada mereka.

Yang menentukan berjalannya perjuangan kita ya kita sendiri. Okelah, misalnya, kita berbagi dengan siapapun, kita sangat terbuka, karena untuk kepentingan mengkampanyekan masalah-masalah yang terjadi. Namun untuk masalah pengambilan keputusan, tetap ada di tangan masyarakat. Ini bukan hanya untuk gerakan petani saja, tapi juga sangat penting untuk semua gerakan. Dari gerakan buruh sampai gerakan lainnya.

Penyelesaian kasus-kasus agraria di Indonesia kebanyakan diserahkan kepada para politisi dan LSM, jadinya itu ya hancur. Baiknya kita berjuang ya secara mandiri.

Dan yang penting tiga hal yang saya sebutkan di awal-awal pembicaraan kita, membangun kekuatan masyarakat di tingkatan paling bawah. Bahwa kita harus sadar perjuangan ini adalah milik kita.

Yang kedua, bagaimana kita membangun jaringan dengan teman-teman yang peduli dan betul-betul mau diajak berpikir bersama untuk kepentingan orang banyak. Kita membuka keran jaringan kampanye di luar sehingga kasus ini jangan sampai dilokalisir, bahwa kasus ini adalah kasus kita semua. Itu fungsi pentingnya kenapa kita harus membangun jaringan yang kuat. Tetapi dalam tanda kutip, penghubung-penghubung jaringan itu justru jangan sampai malah menjadi makelar. Secara manusiawi dan akal sehat kita bisa menganalisa, tentang tujuan orang-orang yang masuk di ranah konflik.

Yang ketiga, advokat, ketika kita bersentuhan dengan hukum, minimal ada yang back-up. Biar yang terkena kasus itu agak tenang, walaupun itu pasti akan kalah. Kalau kita mau menang ya harus memakai hukum sendiri, hukum adat dan hukum petani untuk menyelesaikan masalah dengan siapapun.

Pesan-pesan Anda apa?

Tetap perjuangan ini adalah perjuangan kita. Jangan kita serahkan pada siapapun dan tetap tolak tambang pasir besi sampai kapanpun dan dimanapun!